Jawaban Atas Kenaikan Harga BBM

Dari berbagai kenyataan dan analisa yang telah dikupas terkait kenaikan harga BBM, pemerintah sesunguhnya bisa menempuh beberapa langkah yang tidak perlu dengan menaikkan harga BBM. Pemerintah sendiri bahkan sudah tahu kebijakan menaikkan harga BBM juga merugikan negara apalagi rakyat Indonesia. Akan tetapi, karena kadar komprador yang tinggi rejim SBY-Kalla sebagai antek imperialis disertai tingkat kereaksioneran yang luar biasa terhadap rakyat, rejim tak tahu malu ini lebih memilih setia kepada imperialisme dan musuh-musuh rakyat dalam negeri yaitu para borjuasi besar komprador, tuan tanah besar dan kapitalis birokrat.

Jawaban yang paling tegas dan lugas adalah tidak menaikkan harga BBM karena akan memberikan dampak yang lebih luas bagi penderitaan rakyat Indonesia. Langkah itu kemudian segera diikuti dengan segera menata ulang pengelolaan dan pemanfaatan energi dalam negeri. Hal ini bisa dilakukan dengan menghentikan ketergantungan dari impor BBM dari kaum imperialis atau sekurang-kurangnya membatasi pasokan BBM impor dengan cara meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri dengan memprioritaskan pemenuhan pasokan energi dalam negeri yang bisa diperoleh dengan memperkuat peran Pertamina sebagai pemegang hak utama pengelola energi dan membatasi peran perusahaan-perusahaan migas asing baik dalam produksi ataupun distribusi perdagangan.
Upaya ini bisa dilakukan dengan melakukan peninjauan ulang kontrak karya bagi hasil dan kebijakan ekspor minyak dengan memprioritaskan pemberian pajak progresif kepada perusahaan-perusahaan migas asing dana borjuasi besar komprador di dalam negeri. Juga bisa menerapkan peningkatan pajak penambahan barang mewah. Dengan demikian bisa mengurangi beban defisit dalam kas negara dan harga minyak dalam negeri masih tetap terjangkau serta pemerintah masih tetap mendapatkan pendapatan dari penjualan yang ada.
Terkait dengan politik anggaran yang dituding selalu memberatkan pemerintah, pemerintah seharusnya mengurangi pengeluaran untuk sektor-sektor dan pos-pos yang tidak terlalu berguna bagi rakyat atau untuk kepentingan kaum imperialis dan kompradornya. Dana-dana tersebut bisa digunakan untuk tetap mempertahankan subsidi dan di sisi lain bisa digunakan untuk kepentingan ekonomi dalam negeri, bahkan bisa saja untuk pembukaan kilang-kilang minyak baru.
Karena kebijakan kenaikan harga BBM ini juga berdampak pada kenaikan harga-harga, terutama kebutuhan bahan pangan, maka pemerintah seharusnya melakukan penghentian kembali alih fungsi lahan untuk pengembangan biofuel dengan penyediaan lahan bagi pangan rakyat dan pembangunan infrastruktur lainnya yang tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat. Dan itu bisa dijalankan dengan melaksanakan program reforma agraria sejati atau sekurang-kurangnya menjalankan apa yang telah tertuan dalam UU Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960. Selain itu, pemerintah juga bisa melakukan penataan perdagangan komoditas pangan dengan menghentikan atau sekurang-kurangnya pasokan pangan impor, yang diikuti dengan pengelolaan pemenuhan kebutuhan pangan untuk kepentingan dalam negeri, termasuk kebijakan ekspor beras yang hanya menguntungkan pedagang-pedagang besar komprador di dalam negeri. Hal ini setidaknya bisa menjaga harga kebutuhan pangan dalam negeri tidak terlalu melonjak tinggi.
Sisi lain yang tak kalah penting, pemerintah seharusnya menaikkan upah buruh dan pegawai tingkat rendah agar mereka mampu menjangkau kebutuhan harga-harga yang cukup tinggi saat ini, daripada digunakan untuk program kompensasi seperti BLT dan sejenisnya yang justru tidak efektif dan disisi lain akan berpengaruh pada penurunan peningkatan produktivitas ekonomi di dalam negeri.
Sesungguhnya, ada jawaban yang lebih radikal lagi dari itu semua dengan melakukan nasionalisasi terhadap aset-aset migas asing milik imperialis dan borjuasi besar komprador, sehingga lebih memaksimalkan kebutuhan pasokan minyak dan pasar minyak di dalam negeri. Akan tetapi, soal ini bukan perkara mudah karena memiliki resiko politik yang tinggi. Hal ini tentu akan mendapatkan tentangan luar biasa dari kaum imperialis dan pemerintah SBY-Kalla sendiri sebagai bonekanya imperialisme. Dan itu hanya bisa didapatkan dengan jalan perjuangan rakyat yang sengit dan hebat serta baru akan bisa terwujud di bawah kekuasaan Pemerintahan Demokrasi Rakyat yang anti imperialisme dan anti feodalisme. Syarat-syarat inilah yang belum tersedia dan memang harus mulai ada pemecahan-pemecahan secara serius.
Beberapa jawaban ini setidaknya membongkar kepalsuan propaganda pemerintah di balik kenaikan harga BBM yang sesungguhnya sangat merepresentasikan kepentingan kaum imperialis dan antek-anteknya di dalam negeri. Sekali lagi, tidak ada kata lain bagi rakyat selain saat ini mendesak kenaikan harga BBM segera dibatalkan.

Mereka Yang Diuntungkan Dari Kenaikan Harga BBM

Dalam situasi ini ada juga klas-klas yang tidak berpengaruh pada kenaikan harga BBM bahkan diuntungkan oleh kenaikkan harga BBM. Mereka memanfaakan situasi ini untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, di setiap kekacauan ekonomi sebuah negara. Borjuasi Besar Komprador Imperialisme, merupakan klas yang paling diuntungkan di dalam negeri atas krisis energi yang terus berlangsung hingga saat ini. Secara khusus mereka terdiri dari:
1. Klas Kapitalis Birokrat. Ini terutama Presiden dan Anggota Kabinetnya, DPR, BI, dan Pejabat negara lainnya yang membuat kebijakan pencabutan subsidi harga BBM yang menguntungkan bagi investor minyak dan gas asing; dan memberikan perlindungan keamanan, membebaskan mereka dari pajak dan bea-masuk terhadap ekspor kapital imperialis memanfaatkan isu BBM; Mempertahankan dan membela kontrak karya perusahaan eksplorasi minyak MNC-TNC milik imperialisme yang sangat menindas dan menghisap rakyat dan bangsa Indonesia; Mempertahankan politik import BBM; Di tengah krisis masih bisa tanpa malu menuntut kenaikan gaji; mengambil keuntungan dari jabatan politiknya.
2. Pedagang besar komprador. Mereka adalah eksportir maupun importir besar, yang mengeruk keuntungan dari perdagangan yang ditopang pihak bank, memanfaatkan isu kenaikkan isu bbm untuk memanipulasi harga setinggi-tingginya di dalam negeri, juga para pengusaha POM bensin yang mengeruk keuntungan dari kenaikan harga BBM;
3. Industriawan besar Komprador. Mereka adalah para pengusaha yang memiliki perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan asing dan membela mati-matian partner imperialismenya, terutama mereka yang bekerja sama dengan perusahaan minyak dan gas imperialis. Mereka menggunakan isu BBM untuk tidak menaikkan upah buruh dan mem-PHK kaum buruh; Tuan tanah besar-komprador yang menyediakan tanah-tanah perkebunan dan hutan hanya berbekal konsesi/lisensi dan menyewakan haknya kepada perusahaan asing dengan harga tinggi;
4. Otoritas bursa efek dan spekulan saham dilantai bursa yang menjual saham perusahaan-perusahaan nasional dan BUMN dengan harga murah memanfaatkan isu bbm kepada para imperialis; Para pedagang valas besar yang mengeruk keuntungan besar dari penjualan mata uang memanfaatkan isu bbm;
5. Pengamat-pengamat ekonomi yang mendukung liberalisme pasar dan mendukung secara militan pencabutan subsidi BBM dan hambatan perdagangan bebas lainnya. Mereka mendapat banyak dana untuk melakukan riset, menjalankan seminar dan menerbitkan buku untuk mendukung kebijakan imperialisme.
Mereka adalah penikmat paling besar dan tidak menderita kerugian apa-apa di tengah-tengah rakyat yang menderita karena kenaikkan harga BBM sekarang ini. Bahkan mereka pada saat ini justru banyak menikmati proyek besar dengan alasan krisis energi dengan menjual dan memberikan konsesi kepada perusahaan asing dengan bagi hasil yang merugikan negara dan rakyat.
Ini dapat dipahami, karena sebagian besar dari pemerintah saat ini selain menjadi pejabat negara, mereka adalah pengusaha besar komprador (industri maupun sebagai pedagang), tuan-tuan tanah besar dan juga banyak dari mereka yang menjadi spekulan mata uang. Menko-Ekuin Abu Rizal Bakri adalah pemilik sejumlah perusahaan perkebunan, konstruksi, pertambangan dan juga ekplorasi minyak besar. Demikian juga dengan Jusuf Kalla yang menguasai perusahaan pelayaran, pabrik semen, elektronika, konstruksi, dan tuan tanah besar yang menguasai konsesi sejumlah tanah untuk perkebunan dan HPH.
Sementara para menteri yang lain memperoleh pendapatan tidak sah dari kebocoran-kebocoran proyek bantuan asing dan proyek-proyek yang mengada-ada, yang tidak diperlukan rakyat. Sri Mulyani, Kepala Bappenas adalah bekas Direktur Eksekutif IMF Asia Pasifik, yang sangat pro pada kebijakan-kebijakan IMF dan Bank Dunia. Mereka adalah orang-orang yang menguasai kebijakan perekonomian Indonesia saat ini, bekerja sama dengan kompatriotnya di DPR, yang senantiasa menyetujui kebijakannya.

Situasi yang Baik untuk Semakin Memperluas Propaganda Politik dan Perjuangan Massa Melawan Rejim Anti Rakyat SBY-Kalla

Dalam perkembangan situasi politik mengenai kenaikan harga BBM, rejim SBY-Kalla telah jauh-jauh hari melakukan konsolidasi dengan klik-klik reaksioner anti rakyat mulai dari jajaran klik pengusahan komprador yang tergabung Apindo dan KADIN, mengkonsolidasikan pers-pers nasional di Istana Negara belum lama ini, hingga kaum kapitalis birokrat para kepala daerah se Indonesia dalam pertemuan yang dilangsungkan di Wisma Bidakara, Jakarta 7 Mei 2008. Semua upaya konsolidasi yang dibangun SBY-Kalla tersebut, agar mendorong mereka sepakat dengan kebijakannya menaikkan harga BBM dan juga soal krisis pangan di dalam negeri.
Di sisi lain, kaum politisi yang berhimpun dalam parlemen anti rakyat di Senayan juga tidak bisa berbuat banyak. Ketua DPR RI Agung Laksono, dengan lagak sok kritisnya tetap saja mengamini naiknya harga BBM. Kekuatan politik utama duo maut SBY-Kalla di Parlemen yaitu Fraksi Demokrat dan Golkar terang-terangan menyatakan dukungan politiknya terhadap kenaikan harga BBM. Sementara fraksi seperti PDI-P belum mampu berbuat banyak. Bahkan mantan aktivis yang katanya progresif seperti Budiman Sudjatmiko yang kini berhimpun dalam organisasi di bawah payung PDI-P, lebih mentereng berbicara soal Megawati yang justru ketika berkuasa sangat “tegawati” menaikkan juga harga BBM, dibandingkan menyuarakan aspirasi rakyat soal kenaikan harga BBM ini. Sedangkan PKS terkesan ingin mengambil untung dari situasi yang meresahkan rakyat ini. Dalam Milad ke X PKS di Senayan belum lama ini yang dihadiri SBY, Presiden PKS Taufiqur Sembiring, menyindir SBY janganlah menaikkan harga BBM, karena akan menambah keresahan masyarakat. Kira-kira demikian inti dari ungkapan dari partai yang mengklaim dirinya “suci” tersebut.
Sementara itu, para ekonom dan jajaran intelektual pro imperialis dan rejim kekuasaan terus menghembuskan propaganda busuk kepada lapisan massa rakyat luas bahwa “tidak ada pilihan bagi pemerintah selain menaikkan harga BBM untuk menyelamatkan APBN’. Di motori oleh mantan ekonom UI, Chatib Bisri yang sekarang menjadi staf Menteri Keuangan, LPEM UI atau pakar energi sekelas Prof. DR. Khurtubi semuanya berbicara lantang melanggengkan propaganda busuk pemerintah tersebut.
Dalam situasi ini, kelompok-kelompok yang dimotori oleh kalangan borjuasi kecil liberal juga mulai unjuk gigi terutama yang dimotori oleh Tim Indonesia Bangkit Rizal Ramli Cs. Bukan saja soal harga BBM, tetapi juga mengenai momentum penting di bulan Mei 2008 yaitu “100 Tahun Kebangkitan Nasional” dan “10 Tahun Reformasi”. Kelompok-kelompok seperti ini tentu akan meningkatkan gebrakannya dalam waktu-waktu ke depan. Di sisi lain, letupan-letupan kecil aksi massa perlahan-lahan mulai muncul dari gerakan mahasiswa sebagaimana aksi protes mahasiswa UIN Makassar pada 7 Mei 2008 yang berakhir ricuh dan aksi-aksi kecil lain di sejumlah daerah.
Dalam kondisi yang demikian ini, menuntut prakarsa atau inisiatif politik dari gerakan rakyat yang memiliki perspektif perjuangan maju untuk tampil ke depan memecahkan segera persoalan rakyat yang dihadapi atas kenaikan harga BBM serta mahalnya harga-harga kebutuhan pokok. Upaya baik yang telah dicapai gerakan rakyat Indonesia dalam peringatan May Day dan Hardiknas 2008 dengan terbentuknya aliansi-aliansi multisektoral bersandarkan persatuan buruh dan tani dengan dukungan luas klas/sektor/golongan lainnya di tingkat nasional dan berbagai kota di penjuru negeri ini, harus dimajukan lagi sebagai perisai bersama seluruh kekuatan rakyat untuk memperluas propaganda dan memperhebat perjuangan massa di kalangan rakyat secara luas dengan mengarahkan gejolak bara api di dada rakyat akibat tindakan membabi buta SBY-Kalla yang telah memberikan pukulan ekonomi kepada rakyat berupa kenaikan harga BBM dan harga-harga kebutuhan pokok sehingga manambah parah dan tajamnya krisis di negeri ini.
Tugas-tugas mendesak dalam aliansi-aliansi atau front-front perjuangan rakyat yang telah terbangun adalah segera mengkonsolidasikan kekuatannya, mempersiapkan dan menjalankan propaganda-propaganda politik yang tajam di kalangan massa, memulai aksi-aksi kecil dan mempersiapkan ledakan aksi besar secara luas di tingkat nasional dan daerah dengan terus berupaya menarik kekuatan-kekuatan rakyat lainnya dan kekuatan-kekuatan politik yang masih bimbang dan ragu, dengan tentu saja bersandar pada persatuan buruh dan tani sebagai kekuatan pokok dalam aliansi Sehingga prakarsa politik rakyat ini mampumenunjukkan kepemimpinan politik sejati dari rakyat, bukan dari kalangan borjuasi kecil liberal, apalagi klik-klik politik yang tengah bertarung dengan klik penguasa SBY-Kalla.
Kenapa ini penting? Ketika harga BBM naik pada Oktober 2005, juga terjadi peningkatan kebangkitan gerakan massa yang luas. Pelajaran berarti dari hal itu, ternyata kepemimpinan klas buruh dan kaum tani beserta kekuatan progresif dan demokratis lainnya, tidak menjadi segi yang mendominasi dalam aliansi luas yang terbangun. Kepemimpinan itu berada pada tangan begundal-begundal borjuasi kecil dan klik-klik politik yang bertarung dengan SBY-Kalla yang kemudian mendapatkan untung dari proses reshuffle kabinet Indonesia Bersatu Menindas rakyat tersebut dengan menempati kedudukan sebagai menteri ataupun pos-pos pemerintahan baru yang dibentuk.
Hal lain dari itu, beberapa kekuatan utama dari sektor buruh yaitu buruh transportasi kurang ambil bagian dalam aksi-aksi massa menolak kenaikan harga BBM pada tahun 2005. Padahal sektor ini akan sangat terpukul dengan kenaikan harga BBM. Apalagi ORGANDA sendiri telah mempersiapkan kenaikan tarif hingga 50 persen jika harga BBM dinaikkan hingga 30 persen.
Aspek terpenting yang harus dilakukan secara mendesak adalah segera memperkuat konsolidasi di masing-masing organisasi di kalangan gerakan buruh, kaum tani, pemuda, mahasiswa, perempuan dan rakyat tertindas lainnya untuk mulai menggencarkan propaganda-propaganda politik melawan kebijakan yang anti rakyat ini dengan memadukan dengan problem-problem konkret yang dihadapi dan juga melancarkan aksi-aksi massa di tingkat basis terendah baik pabrik, pedesaan, kampung, kampus.
Kenaikan harga BBM yang akan dilakukan pada Juni 2008 nanti dan problem umum rakyat atas melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok serta berbagai problem konkret lainnya yang dihadapi rakyat saat ini, menjadi cukup istimewa di Bulan Mei 2008, karena ada dua peristiwa besar yaitu “100 Tahun Kebangkitan Nasional” pada 20 Mei dan “10 Tahun Reformasi” pada 21 Mei mendatang. Apa istimewanya? Secara politik ini akan digunakan juga oleh rejim SBY-Kalla untuk terus memberikan keyakinan bahwa dia masih layak dipercaya oleh rakyat dengan sejuta janji gombalnya bahwa bangsa dan rakyat Indonesia bisa keluar dari segudang krisis di negeri ini. Kedua, klik-klik politik yang bertarung dengan klik SBY-Kalla juga akan menggunakan ini untuk meraih keuntungan politik jangka pendek menjelang Pemilu 2009 nanti dengan memanfaatkan persoalan umum yang tengah dihadapi rakyat seperti kenaikan harga BBM dan kebutuhan pokok. Selanjutnya kelompok papan atas dari kalangan borjuasi kecil liberal dan kelompok-kelompok pendukung di bawahnya, yang juga ingin bertualang secara politik di tengah situasi gejolak rakyat, yang tujuannya sekedar untuk menaikkan posisi politiknya di mata rejim SBY-Kalla untuk ke depannya ambil bagian dalam kekuasaan pemerintahan reaksioner.
Tapi yang paling teristimewa adalah kekuatan rakyat yang progresif dan militan yang pasti tidak akan diam dan tentu saja tengah mempersiapkan diri untuk menunjukkan jati diri sejati rakyat Indonesia yang siap dengan gagah berani untuk melawan rejim anti rakyat SBY-Kalla. Kekuatan inilah yang akan sesungguhnya menjalankan tugas-tugas gerakan mendesak yang telah terurai di atas. Kekuatan inilah cerminan dari persatuan buruh dan tani dengan dukungan luas klas/sektor/golongan/ lainnya dengan tujuan utama adalah memperhebat serta memperluas pengaruh politik dan perjuangan massa melawan kekuasaan diktator kaum borjuasi besar komprador, tuan tanah besar dan kapitalis birokrat yang terus mengabdi pada tuannya imperialisme pimpinan AS yang kini bersanding dalam panji-panji kekuasaan rejim SBY-Kalla.
Gerakan rakyat inilah yang akan mengharu birukan pabrik-pabrik, desa-desa, kampung-kampung, kampus-kampus dan jalanan-jalanan protokol perkotaan, gedung-gedung pemerintahan dengan aksi-aksi massa tingkat kecil hingga tingkat besar dan luas. Sehingga sekali lagi, capaian politik persatuan gerakan rakyat yang telah tercapai dalam Peringatan Hari Buruh Sedunia harus kita majukan lagi bersama untuk menjadikan momentum “100 Tahun Kebangkitan Nasional” dan “10 Tahun Reformasi” sebagai Momentum Kebangkitan Persatuan dan Perjuangan Rakyat Tertindas di Indonesia dengan bersandar pada Persekutuan Buruh dan Tani didukung kekuatan progresif dan demokratis dari klas/sektor/golongan lainnya. Inilah saat yang baik bagi rakyat tertindas di Indonesia mengambil prakarsa politik memimpin sendiri perjuangannya melawan rejim anti rakyat SBY-Kalla.

Disarikan dari Seruan PP FMN Untuk menyikapi kenaikan BBM

Baca Selengkapnya...

UIN BUKAN LAGI KAMPUS RAKYAT

Kampus adalah tempat dimana mahasiswa menjalankan tugas utamanya menuntut ilmu pengetahuan, sebagai unsure mayoritas sudah sepantasnyalah untuk didengarkan. Sudah sewajarnya sebagai unsure mayorita dan sumber dana bagi kampus untuk mendapatkan layanan pendidikan yang layak. Tapi saat ini kampus adalah sebuah potret nyata dari bobroknya system pendidikan di Indonesia.

Nyata saat ini dengan apa yang terjadi di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dimulai dari mahalnya biaya kuliah, fasilitas yang tidak memadai dan tidak fingsional seperti godam kusuka Maupun Gedung yang senyata-nyata dananya dari mahasiswa Tapi kok harus bayaruntuk menggunakannya, pintu gerbang yang ditutup, WC mampet dan bau disalah satu fakultas dan lain-lain. Layanan administrasi yang buruk dan berbelit-belit,ancaman terhadap kebebasan berpendapat, hinga praturan-peraturan yang tentu saja selalu memberatkan mahasiswa yang tidak akan pernah berpihak pada mahasiswa, dan mahasiswa tidak pernah diajarkan untuk mengilmiahkan ilmu yang didapatkan masih menjadi realitas kongkrit di kampus UIN Sunan Kalijaga.
Segudang persoalan di kampus ini, tidak terlepas dari apa yang disebut dengan privatisasi pendidikan tinggi khususnya. Hari ini seluruh perguruan tinggi didorong untuk brdiri secara otonomi atau disebut otonomi kampus dengan dalih untuk efesiensi dan peningkatan pendidikan di Indonesia, dimana secara hokum hal ini diperkuat dingan Undang-Undang Sisdiknas No 23 tahun 2003, keluarnya PP No 60, 61 tentang pendidikan tinggi yang haru memeliki badan hukum, hingga hal ini ditindak lanjuti denga pem-BHMN-an perguruan tinggi negeri ternama. Dan juga dengan akan disahkannya Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) semakin melegalkan kampus untuk mengeruk keuntungan dengan mengobankan mahasiswa sebagai sapi perahannya, dan kampus semakin ditegaskan sebagai “lembaga dagang “ berlabel jasa pendidikan
Rejim SBY-JK yang berkuasa saat ini semakin menunjukkan dirinya anti rakyat dan pendidikan pun hanya dianak tirikan sehingga semakin jelas mereka hanya akan menjilat bokong tuan imperialisnya . terbukti janji nya tidak ditipati guna merealisasikan anggaran 20% untuk pendidikan dari APBD dan APBN. Tahun 2007 saja untuk pendidikan hanya mendapatka anggaran sebesar11,8%. Sebaliknya, Negara mendorong masyarakat untuk membiayai pendidikan yang setiap tahu akan terus naik dan naik., lantas dimana tanggung jawab Negara?
Nyata didepan mata kita dampak dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kita, dampaknyapun nyata. Di UIN sunan Kalijaga dimulai angkatan 2005 dengan pemberlakuan Dana Penunjang Pendidikan (DPP) dan angkatan 2006 Biaya SPP naik 100%.belum lagi dana dana yang tidak jelas arahnya. Kampus UIN dulu dikenal sebagai kampus rakyat, kampus yang selalu menjadi kebanggaan bagi klas buruh dan kaum tani untuk meng-kuliah-kan anaknya karma masih bias dijangkau biaya kuliahnya, tapi sekarang sudah jauh dari untuk dikatakan sebagai kampus rakyat
Biaya kuliah setiap tahu akan mengalami kenaikan, sedangkan pendapatan rakyat kecil saja belum tentu mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan belumtentu mengalami penambahan laba ataupun kenaika. Tahun 2007 saja oendapatan rat-rata penduduk Indonesia hanya 2 dolar, bagimana seorang anak buruh, buruh tani, tani miskin atau rakyat miskin perkotaan akan menikmati bangku kuliahyang setiap tahunnya mengalami kenaikan.
Mahalnya biaya pendidikan di UIN berupa SPP yang juga diiringi dengan berbagai problem lainnya seperti berbagai pungutan lainnya yang berlabel DPP, dana PKL, dana KKN, dana skripsi sampai pungli-pungliyang terkadang kit selaku mahasiswa yang sering mengaku kritis ataupun selalu ingin disebut sebagai kaum yang kritis tidak menyadari, dan juga masih terdapat berbagai upaya untuk menarik keuntungan dengan fasilitas-fasiitas yang dikomersilkan sehinga mahasiwapun harus merogoh koceknya bila ingin menggunakan fasilitas tersebut, seperti contohnya sewa gedung, dan sarana fasilitas yang lainnya.
Biaya perkuliahan yang semakin mahal yang mengakibat kan sebagian mahasiswa tersita waktunya karma harus kerja membanting tulang bukan lah semata-mata atas keinginan tetapi atas keterpaksaan guna men cukupi kebutuhan kuliah dan kebutuhan hidup tentunya yang ketika lulius pun belum tentu bias mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai harapan
Tapi parahnya sebagian dari kita sendiri kadang tidak sadar akan hal tersebut, entah tidak tahu atau tidak mau tahu. Karna kita seakan dihipnotis dengan pembangunan gedung yang terlihat megah tersebut, tapi nyatanya peningkatan pembangunan tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan,pendidikan yang bias kita nikmati hanya sebatas bualan yang bila kita terjun kemasyarakat a[akah benar-benar bias kita terapkan dan yang pasti kita hanya akan menambah antrian pengangguran. Dan dana yang digunakan pun adalah hutang yang selanjutnya mahasiwalah yang akan menjadi korbannya, akan terus diperas guna melunasi hutang tersebut dan itulah dosa turunan dan mahasiswalah yang harus menanggungnya. Saya tekankan mahasiswa bukanlah sapi perahan ,dosen bukan alat dan kampus bukanlah pabrik. Apakah kita hanya terus diam dan akan terus ditindas? Karna diam sama saja dengan meg-iakan penindasan terus berlangsung dan akan lapuk dimakan sejarah. Atau kita tunjukkan bahwa kita tidak akan pernah diam selama penindasan terus berlangsung.
*Wiwin Solikhin (Koordinator FMN UIN Sunan Kalijaga)

Baca Selengkapnya...

Nilai Kolektifitas

Jika dilihat dari sudut pandang eksistensialisme dan individualisme dengan cara ekstrim atau bahkan serampangan, membangun sebuah kolektifitas tidak jauh bedanya dengan memenjarakan subjektifitas kita, Bahkan akan membuat otoritas diri kita layaknya seekor anjing yang tidak mampu menggonggong pada tuannya yang bernama “kolektifitas”. Kita hanya akan dipaksa untuk manut atas keputusan bersama, atau pun kita hanya akan dijadikan budak bagi sebuah nilai kebersamaan.

Tapi tidak ada salahnya dan sah-sah saja bila itu dilakukan dengan proporsional. Lagi pula pandangan tentang individu dan kebersamaan seperti yang di atas ataupun penggabungan antara keduanya (individu dan kebersamaan) tentu harus memiliki syarat-syarat tertentu dimana sang individu sudah mencapai tiungkatan tertentu (bukan sosok sufi tentunya..), barulah suatu penggabungan bisa dilakukan. Yang saya maksud dengan tingkatan tertentu bukanlah seperti halnya kasta,tahta ataupun seperti ma’rifat dan sebagainya. Tetapi tentu saja tentang kemampuan diri dan sikap bijak serta kerelaan sang individu agar merasa yakin bahwa nilai personal tidak jauh lebih baik dibanding nilai kolektifitas.
Kita sering mendengar kata “kolektifitas” dalam sehari-hari yang secara sederhana dapat difahami atau dikatakan; kebersamaan dalam artian; lebih dari sekedar person. Seperti halnya ketika kita membuat sebuah keputusan atau sebuah pekerjaan, kita sering merasa sudah mengerjakan sebuah pekerjaan dengan cara kolektif. Tentu tidak hanya sekedar itu saja, karena secara tidak sadar bila kita mampu mengerjakan sesuatu dengan kolektif, banyak sekali keuntungan yang bisa kita dapatkan. Tidak hanya sekedar mendapatkan pekerjaan yang mampu dan kita merasa mudah untuk melakukannya, atau pun yang lainnya, tetapi keuntungan yang tidak kita rasakan secara langsung pun pasti ada.
Memang agak sedikit narsis saya menjelaskan akan nilai sebuah kolektifitas, yang mungkin belum tentu saya sendiri bisa melakukan yang sebenarnya akan arti kolektifitas tersebut. Tapi setidaknya kita bisa memulainya dari hal-hal yang kecil-kecil terlebih dahulu dengan melakukan pekerjaan yang hasilnya bisa kita rasakan langsung atau pun secara bertahap kita bisa menikmatinya. hasil yang akan kita capai pun harus jelas. Baik politik maupun organisasi. Intinya adalah kecil hasil basis penting.
Pekerjaan akan lebih mudah dengan adanya kolektif. Dengan pembagian kerja kolektif setidaknya kita akan terhindar dari budaya buntutisme dan lain sebagainya.. Banyak sekali keuntungan yang bisa kita hasilkan melalui kolektivitas. Hal yang sudah tercover seperti diatas tetu saja benar walaupun mungkin ada sedikit kekurangan tetapi hasil yang kita dapatkan akan jauh lebih banyak.
Terus bagaimana soal kerjasama yang dianggap sebagai perampok bagi subjektivitas!. Mungkin ini sedikit ada benarnya tapi salahnya akan lebih banyak, karna yang saya maksudkan dari kerjasama adalah kerjasama guna menuju sebuah kedamaian yang demokratis. Oleh karena itu dan berangkat dari itu semua kitapun perlu khawatir akan kehadiran individu-individu yang lemah, baik di dalam sebuah organisasi massa pemuda mahasiswa seperti halnya FMN ataupun organisasi-organisasi yang lainnya, bahkan bisa jadi di negeri ini yang konon katanya “demokratis”. Karena individu-individu yang lemah nantinya bisa jadi hanya akan menjadi penjilat-penjilat bokong kaum imperialis, dan berlanjutnya sebuah tradisi yang melahirkan penindas-penindas baru. Atau setidaknya menjadi duri dalam daging atau api dalam sekam dalam tubuh sebuah organisasi.. Karena mereka yang lemah adalah mereka yang tidak percaya pada sebuah kolektivitas dan hatinya diegoiskan oleh fikirannya sendiri untuk selalu berkata “aku tak butuh siapapun”.
Kita sering terjebak dalam sebuah pratek yang seakan kita ingin menjadi hero ataupun ingin dianggap hero, dalam pembacan suatu permasalahan pun kita masih sering terjebak dalam fikiran yang instan ataupun terkesan pragmatis. Kita selalu tergesa-gesa dalam menentukan pekerjaan dan tidak mau mendengarkan apa yang disampaikan teman yang berada disamping kita. Disini gunanya seorang kolektif mampu mengarahkan kita dengan melihat kondisi objektif yang ada. Dan kita mungkin harus memiliki kepekaan social, dimana kolektifitas harus memiliki kesaman dalam melihat permasalahan serta kenyatan yang ada, dan pandangan yang sama dalam menentukan pekerjaan agar kita sadar bahwa kita akan benar-benar mampu untuk melakukannya.
Dalam hal pembagian pekerjaan pun kita kita harus mengerti dengan situasi dan kondisi kolektif kita. Agar pekerjaan yang diamanatkan tidak menjadi beban. Kesamaan dalam menentukan metode setidaknya bisa menghindarkan diri dari praktek liberal. Pembagian pekerjaan yang rapi dan tanggung jawab atas pekerejaan secara kolektifi akan membuat kita sadar apa artinya kolektif tersebut.
Atas dasar kolektifitas kita akan mampu untuk mengeksekusi sebuah pekerjaan yang tentunya harus tetap ilmiah, dalam artian tidak hanya sekedar berbasis pada kenyataan atau kondisi objektif, tetapi juga menjelaskan cara merubah kenyataan yang lebih baik dan juga memberikan solusi untuk mengatasinya. Kitapun dituntut untuk selalu Jujur dan frinsifil dalam hal melihat suatu permasalahan,serta berkesinambungan. Tetap tegakkan frinsif dan langgam kerja.
Mungkin kita boleh untuk mengatakan bahwa kita tak butuh sipapun. Itupun bila demi mengangkat tinggi-tinggi bendera eksistensi dan takut kehilangan “aku” sebagai individu yang termarjinalkan. Tetapi kita harus faham bahwa eksistensi tidaklah selalu individualis dan kita tidak selalu bercermin pada diri sendiri, tetapi kita bisa bercermin pada orang lain..begitu pula sebaliknya. Pada intinya adalah setiap individu sangat membutuhkan interaksi dengan orang lain.
JAYALAH PERJUANGAN MASSA
*Wiwin Solikhin (Koordinator Pimpinan Kampus FMN UIN SoeKa Jogja)

Baca Selengkapnya...

Perempuan dibawah belenggu Imperialisme dan Feodalisme melalui Rezim SBY-Kalla

Tanggal 8 Maret selalu kita peringati sebagai Hari Perempuan Internasional. Dan dalam setiap perjalanannya di Indonesia kini, Hari Perempuan Internasional diperingati di tengah penindasan perempuan Indonesia oleh imperialisme, feodalisme dan kapitalis birokrat di bawah kepemimpinan borjuasi komprador SBY-Kalla yang anti rakyat. Kenapa demikian, karena perempuanlah yang paling banyak merasakan penindasan dan eksploitasi di segala lini baik secara ekonomi, politik maupun budaya.

Secara ekonomi perempuan Indonesia dimiskinkan, secara politik perempuan Indonesia dinomorduakan dan secara budaya perempuan Indonesia disubordinasikan. Semua persoalan tersebut bukanlah tanpa sebab, tetapi telah tersistematiskan dalam skema penindasan yang telah berlangsung selama berabad-abad. Dan siapakah yang kita sebut sebagai perempuan tertindas Indonesia? Mereka adalah mayoritas perempuan sebagai tani miskin dan buruh tani, buruh yang bekerja di pabrik, buruh migrant Indonesia dan sektor perempuan lain yang sarat dengan penindasan.

Catatan kekinian yang menguatkan kondisi perempuan yang dimiskinkan secara ekonomi adalah 50% dari perempuan Indonesia adalah tani miskin. Data tersebut dikuatkan dengan peningkatan angka kemiskinan pada pemerintahan rejim SBY-Kalla yang naik setiap tahunnya, yaitu sebesar 17,8% (39,05 juta jiwa) pada tahun 2006 di banding tahun 2005 dengan persentase16,0% dari total penduduk indonesia. Dari 39,05 juta jiwa warga miskin tersebut, 14,49 juta jiwa hidup di kota dan 24,81 juta jiwa hidup di desa. Sedangkan angka partisipasi perempuan yang bekerja di luar sektor pertanian hanya mencapai 26% saja (BPS). Dengan demikian nyata bahwa sebagian besar dari perempuan indonesia hidup menggantungkan diri dari tanah dalam tatanan sosial yang masih feodal sebagai tani miskin dan buruh tani.

Di sektor perburuhan, perempuan indonesia juga tak lepas dari penindasan. Konvensi ILO No. 100 ( yang diratifikasi dalam UU No.80 tahun 1957 ), Declaration of Human Right pasal 2, UU No.39 tahun 1999 pasal 38 tentang HAM dan Undang-Undang No. 7 tahun 1984 telah menjamin kesetaraan upah bagi buruh perempuan dan laki-laki. Namun di lapangan ditemukan penyimpangan. Sebagian besar buruh perempuan hanya mendapatkan upah 2/3 dari buruh laki-laki. Kenyataan yang diskriminatif ini dikuatkan dengan adanya peraturan menteri tenaga kerja No. 04 tahun 1988 yang berisi bahwa perempuan tidak mendapatkan tunjangan kesehatan bila suami sudah mendapatkan hak yang serupa. Gaji minim yang diterimanya telah memaksa 44% buruh pabrik perempuan untuk bekerja lebih panjang, lebih dari 75 jam/minggu. Sedangkan buruh perempuan yang bekerja penuh waktu ( 35-74 jam/minggu ) hanya sebesar 48%. Bandingkan dengan persentase buruh laki-laki yang bekerja penuh waktu yang mencapai 71,6%.

Kondisi buruh migran juga tak lebih baik. Jumlah buruh migran indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Fenomena ini sebagai akibat dari ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negaranya, sehingga harus mengadu nasib di negeri lain dengan perlindungan minim dari pemerintah indonesia. Sebagian besar menjadi tenaga kerja dengan ketrampilan rendah, seperti pembantu rumah tangga dan buruh bangunan Di kawasan asia pasifik ( hongkong, taiwan, cina, macau ) 90% adalah buruh migran perempuan sisanya adalah buruh migrant laki-laki. Jumlahnya yang banyak, telah menempatkan tenaga kerja indonesia sebagai pahlawan devisa. Namun predikat ini tidak sesuai dengan penghisapan yang dialami oleh buruh migrant. Kasus terakhir adalah soal Surat Edaran KJRI Hongkong No.2258 yang semakin menguatkan posisi agen. Padahal dalam prakteknya agen menjadi pemeras keringat para buruh migran melalui praktek ilegal yang dilakukan. Seperti underpayment, pelecehan seksual, penahanan paspor dan visa, mahalnya biaya penempatan, dan pemotongan gaji ilegal. Penindasan ini terjadi di Hongkong yang notabene termasuk Negara yang melindungi hak buruh migrant. Tetapi jika mereka yang bekerja di Negara Timur Tengah; seperti Arab Saudi, Kuwait, Syiria; bahkan diperlakukan dengan lebih kejam seperti budak yang tidak mempunyai hak apapun di depan majikannya. Kasus trafficking yang berkedok PJTKI pun terjadi. Catatan tahun 2007 saja, jumlah korban trafficking yang terkatung-katung di Malaysia sejumlah 1.987 orang ( 1.165 adalah perempuan ).

Dalam ranah politik, upaya pemerintah dalam memberdayakan perempuan tidak menyentuh ke akar persoalan. Salah satunya adalah quota perempuan dalam badan legislative sebesar 30% (perkembangan sekarang adalah 11%). Jika lebih jernih memandang persoalan perempuan, keterwakilan tersebut hanya keterwakilan secara jenis kelamin. Jadi meskipun semakin banyak perempuan yang duduk di parlemen, namun jika tidak memahami apa yang menjadi akar penindasan perempuan maka hanya akan menjadi gerakan feminis liberal belaka yang diusung oleh imperialisme. Akses politik perempuan hanya terbangun di perspektif perwakilan di parlemen, tetapi tidak melahirkan perspektif untuk membangun organisasi massa perempuan yang secara politik berjuang untuk kepentingan kaum perempuan dan rakyat. Penghancuran besar-besaran organisasi perempuan yang mempunyai perspektif politik maju oleh rejim orde baru di mulai dari tahun 1965. kemudian menggantinya dengan organisasi-organisasi yang menjadi bagian dari profesi suami. Seperti darma wanita, PKK, perwari dan organisasi perempuan lain yang kemudian hanya bergerak dalam hal yang sifatnya domestik, sosial dan menumpulkan pandangan politik perempuan
.
Di tengah kondisinya yang dimiskinkan secara ekonomi dan dinomorduakan secara politik, perempuan indonesia semakin terpuruk dalam ketidakmampuannya. Tertanam stigma bahwa perempuan hanya mengurusi soal-soal dapur, sumur dan kasur. Kemudian perempuan dijauhkan dari persoalan-persoalan politik dan kemasyarakatan, bahkan dia tidak mampu untuk menentukan keputusan atas alat produksinya seperti tanah, seperti keputusan untuk dijual atau tidaknya tanahnya atau mau ditanam apa lahan yang diolah bersama dengan suaminya. Padahal partisipasi perempuan dalam kerja produksi lebih banyak dibanding dengan laki-laki. Minimnya akses pendidikan yang harusnya ia peroleh, tingginya angka buta huruf yang diderita ( 11,71% perempuan usia produktif menderita buta huruf, angka ini lebih besar dibanding dengan angka buta huruf yang dialami laki-laki sebesar 2,92% saja ), poligami yang dalam kenyataannya sangat tidak adil bagi perempuan, hingga pelecehan seksual yang sering dialami perempuan. Kemudian ditengah himpitan ekonomi yang semakin berat, orang tua memaksa anak gadisnya untuk kawin muda. Dan yang sudah membina keluarga, pasangannya menumpahkan ketidakmampuan menghadapi persoalan beratnya hidup dengan melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan sebagian terpaksa bercerai.

Tingginya angka kematian ibu melahirkan yang mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup merupakan wujud minimnya akses perempuan atas kesehatan. Di desa-desa yang terpencil, perempuan harus menempuh jarak berkilo-kilo tanpa kemudahan transportasi untuk menemui bidan. Setelah sampai pun masih harus dikenakan biaya tinggi. Kenaikan harga kebutuhan pokok akhir-akhir ini membuat perempuan, sebagai pengatur keuangan keluarga, bingung memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Kesulitan ini mengakibatkan tingginya angka malnutrisi anak sebesar 26% dan angka ketakcukupan konsumsi kalori saat ini mencapai 64%. Jadi tidak heran jika di tanah yang subur dan kaya raya ini ditemukan kasus anak menderita busung lapar.

Eksploitasi terhadap perempuan tak terhenti sampai di sini. Imperialisme mengeksploitasi perempuan sebagai komoditas. Diciptakan stigma bahwa perempuan ideal adalah mereka yang sesuai dengan pencitraan imperialisme, yaitu mereka yang menggunakan produk-produk kecantikan yang diproduksi imperialisme.

Sudah banyak bukti di hadapan mata kita, bahwa penindasan terjadi di semua lini. Kasus kekinian yang menjadi ironi adalah kelangkaan bahan pangan hingga memicu naiknya harga kebutuhan bahan pokok. Kenapa hal ini bisa terjadi? Jawaban yang tepat adalah karena pemerintahan kita hari ini, yaitu SBY-Kalla, anti rakyat dan setia pada tuannya yaitu imperialisme AS. Kebijakan yang dikeluarkan tak satupun yang pro pada kepantingan rakyat. Lahan-lahan yang sebagian besar dikuasai tuan tanah yang seharusnya ditanami kebutuhan pangan ternyata ditanami komoditas ekspor.

UU Penanaman Modal adalah kebijakan paling kontroversial yang terakhir dikeluarkan karena semakin mengintensifkan penindasan terhadap rakyat terutama kaum tani, karena sepanjang umurnya ia hanya mampu menjadi buruh di tanahnya sendiri. Hingga rencana amandemen UU Pokok Agraria yang selama ini menjadi payung bagi tani untuk memperjuangkan haknya atas pemilikan tanah. Sistem kerja kontrak bagi buruh pabrik melalui peraturan UU Ketenegakerjaan No.13 tahun 2003. Hingga penurunan anggaran pendidikan untuk tahun 2008 menjadi 9,19%, angka ini turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 11,8%. Kondisi perempuan Indonesia hari ini tidak jauh berbeda dengan kondisi rakyat Indonesia pada umumnya, dihisap dan ditindas oleh dominasi imperialisme dan feodalisme secara ekonomi, politik dan kebudayaan melalui rejim bonekanya di dalam negeri.

Kepentingan imperialisme di indonesia adalah bahan mentah yang murah dan banyak yang diambil dari kekayaan alam indonesia, tenaga kerja yang murah dan pasar untuk memasarkan produksi mereka yang sudah over produk. Karena dalam logika kapitalis, untuk mendaptkan keuntungan yang sebanyak banyaknya adalah dengan memasarkan barang dagangannya agar modal bisa terus berputar, mengurangi upah buruh dan mendapatkan bahan mentah yang murah untuk menghidupi industri mereka. Jadi tidak heran jika indonesia semakin dibanjiri dengan produk-produk luar negeri, karena imperialisme berupaya untuk mengalihkan krisis dalam negerinya ke negara jajahannya ( termasuk indonesia dengan jumlah penduduk terbesar nomor 4 di dunia ).
Kedua semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang persentase pengangguran semakin tinggi (pengangguran lebih banyak diderita mereka yang menempuh jenjang perguruan tinggi, ini dialami juga oleh perempuan ) karena imperialisme menginginkan buruh yang siap dibayar murah dengan ketrampilan rendah. Maka industry-industri di Indonesia paling gemar menggunakan tenaga kerja perempuan yang mau di bayar murah karena statusnya sebagai pencari nafkah yang tidak pokok dalam keluarga. Dan ketiga semakin lebarnya pemerintah membuka pintu investasi luar negeri untuk mengembangkan usahanya di indonesia termasuk untuk mengeruk kekayaan alam indonesia yang belum tereksplorasi.

Sistem patriarkhi yang menindas perempuan, juga berdiri diatas topangan imperialisme dan feodalisme di Indonesia. Maka ketika cara produksi feodalisme masih berlangsung di Indonesia dan didominasi oleh kekuasaan imperialisme, patriarkhi juga tidak akan pernah dapat dihancurkan. Bahwa penindasan yang terjadi pada perempuan hari ini, di tengah budaya patriarkal feodal, bukan hanya perempuan yang ditindas tetapi laki-laki juga di tindas yang artinya seluruh rakyat indonesia mengalami hal yang sama atas penindasan yang terjadi di indonesia.

Jadi semakin jelas memang siapa yang menjadi musuh rakyat indonesia, termasuk di dalamnya perempuan indonesia, yaitu imperialisme, para tuan tanah dan borjuasi komprador. Karena merekalah yang paling banyak mendapatkan keuntungan di tengah semakin massifnya eksploitasi terhadap rakyat indonesia.

Maka bangkit dan mengorganisasikan diri dalam sebuah organisasi maju berperspektif perjuangan demokrasi nasional adalah jalan yang paling tepat bagi perempuan indonesia untuk lepas dari sistem setengah jajahan dan setengah feodal ini. Dengan mengusung platform anti imperialisme dan anti feodalisme, gerakan perempuan indonesia menjadi bagian dari gerakan rakyat indonesia ( yaitu kelas buruh dan kaum tani indonesia ). Karena dua kelas inilah yang paling merasakan kerasnya penindasan yang dilakukan oleh imperialisme dan feodalisme, yang karenanya hanya gerakan dengan 2 kekuatan pokok inilah yang mempunyai masa depan dan mampu membawa indonesia lepas dari ketertindasannya melalui perjuangan pembebasan nasional.



Hidup perempuan indonesia!!!!
Hidup mahasiswa !!!
Hidup tani!!!
Hidup buruh!!!
Hidup kaum miskin kota!!!
Hidup rakyat Indonesia!!!!

* Jefry Habib: Mahasiswa UIN Sokidjo.DPP FMN, bergiat di AGRA (Aliansi Gerakan Reforma Agraria)

Baca Selengkapnya...

Represifitas dan Pengekangan Terhadap Mahasiswa di Kampus

Kampus adalah tempat dimana mahasiswa menjalankan tugas utamanya menuntut ilmu pengetahuan, sebagai unsure mayoritas sudah sepantasnya lah untuk didengarkan. Sudah sewajar nya sebagai unsure mayorita dan sumber dana bagi kampus untuk mendapatkan layanan pendidikan yang layak. Tapi saat ini kampus adalah sebuah potret nyata dari bobroknya system pendidikan di Indonesia
Salah satu problem yang dihadapi dalam sistem pendidikan di Indonesia adalah tentang kebebasan berpendapat dan kebebasan berorganisasi yang masih dikekang.. Mayoritas kampus saat ini membuat perjanjian bagi presensi sebesar 75 persen untuk persyaratan nilai, sehingg membatasi aktifitas mahasiswa di luar kelas. Aksi-aksi kampus yang dilakukan juga sering mendapatkan represi. Pamflet-pamflet kritis di kampus sering disobek. Bahkan ada mahasiswa yang diskorsing dan dikeluarkan drop out akibat mengkritisi kampus, ini pernah dialami oleh 4 anggota FMN di kampus STAIBU Jombang tahun 2004 dan 3 mahasiswa ITS akibat mendemo ITS karena mendukung operasi PT Lapindo Brantas Inc, yang telah mengakibatkan banjir lumpur di Porong Sidoarjo.

Kebebasan berorganisasi di kampus juga turut dikekang. Pemerintah hanya mengakui keberadaan organisasi dependent kampus yang memang selalu menjadi alat kepentingan pemerintah untuk meredam kesadaran politik mahasiswa. Ormas-ormas mahasiswa independent yang sering disebut juga organisasi ekstra seperti FMN dilarang kehadirannya di kampus. Untuk ini, pemerintah telah menerapkan SK Dirjen Dikti 26 Tentang Pelarangan organisasi ekstra di kampus. Ketika ormas-ormas ini mengadakan kegiatan di kampus harus mendapatkan izin bahkan membayar untuk menggunakan fasilitas kampus yang ada. Di beberapa kampus FMN bahkan dilarang secara resmi, dengan berbagai alasan. Tetapi sesungguhnya, larangan itu karena FMN konsisten memperjuangkan kepentingan mahasiswa. calon mahasiswa dalam brosur penerimaan, bahwa jika dia diterima harus mengikuti segala peraturan kampus, pembayaran dan melarang untuk terlibat dalam demonstrasi. Kampus juga memberlakukan kebijakan pengetatan.
Secara fisik maupun non fisik maupun sadar dan tidak sadar, saat ini mahasiswa telah direfresi oleh rejim boneka imperialis SBY-JK. Karena jelas demi melayani tuannya, SBY-JK akan menghalalkan segala cara untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari sector manapun termasuk pendidikan. Secara fisik ini jelas dan nyata di depan mata kita telah terjadi dan, seperti yang terjadi dikampus ikip mataram ataupun di kampus nomensen medan atau bahkan di jogja sendiri refresi telah dan masih terjadi, seperti di kampus isi, ataupun di kampus UII tentang pemukulan dn sebagainya. Secara non dfisik kiat selaku mahasiswapun juga telah dan masih akan terus direfresi, seperti kebijakan presensi 75%, ataupun kebijakan2 pungli dan sebagainya.
Hal ini pun menimbulkan terjadinya konflik-konflik di berbagai kampus .yang akhirnya semakin memperjelas kebejatan birokrasi kampus yang di jadikan alat oleh rejim yang berkuasa.konflik-konflik di sejumlah Perguruan tinggi swasta antara yayasan dan pengelola kampus, jugaberdampak pada nasib mahasiswa yang lebih buruk. Di IKIP Mataram, para wisudawan 2 periode (Juli 2006 dan Januari 2007) terkatung-katung nasibnya, karena tempat mereka mencari kerja tidakmenerima dengan alasan keabsahan ijazah diragukan akibat rektor yang ada dianggap illegal. Halyang sama juga dialami di Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang. Bahkan dalam tingkat tertentu, konflik tersebut berujung dengan kekerasan yang menjadikan mahasiswa sebagai korban, sebagaimanayang terjadi di IKIP Mataram (tewasnya M.Ridwan dan intimidasi terhadap mahasiswa) dan bentrokan berdarah di kampus UISU Medan, 9 Nei 2007.

Mahasiswa sendiri diarahkan menjadi sosok menara gading yang terpisah dari realitas sosial dansosok yang kritis. Perkuliahan dan presensi yang ketat, pengekangan terhadap demokratisasi dikampus, percepatan masa kuliah dan bagaimana digencarkannya kegiatan-kegiatan mahasiswalainnya ala Mtv’s generation, merupakan gambaran betapa kampus telah difungsikan untuk melahirkan sarjana-sarjana yang nantinya hanya sekedar intelektual an sich, tenaga-tenaga kerjarendahan, dan pengusung nilai-nilai budaya imperialis.

Selain mahasiswa, para dosen dan karyawan kampus juga akan terancam kehidupannya. Denganmakin masifnya otonomi kampus dengan memposisikan kampus sebagai badan hukum, maka dosen dan karyawan pun akan terkena dampak fleksibilitas perburuhan. Mereka tidak lagi berstatus pegawai negeri, tetapi tenga kerja badan hukum pendidikan alias tenaga kontrak. Artinya, akan semakin menghancurkan penghidupannya. Privatisasi pendidikan tinggi melalui otonomi kampus atau badan hukum pendidikan mengakibatkan kampus mengelola sendiri kehidupannya mulai dari keilmuan, pendanaan, regulasi dan sebagainya. Hal ini justru akan semakin membuat dunia kampus semakin terpuruk dan mengancam hak-hak mahasiswa di kampus. Mahasiswa akan menjadi korban utama dan terbesar dari proses ini. Mahasiswa tetap akan menjadi sapi perahan bagi para pengelola kampus dan dijerat dengan berbagai kebijakan yang merugikan seperti di atas.
* Fredy (Dewan Pimpinan Pusat Front Mahasiswa Nasional)

Baca Selengkapnya...