Perempuan dibawah belenggu Imperialisme dan Feodalisme melalui Rezim SBY-Kalla

Tanggal 8 Maret selalu kita peringati sebagai Hari Perempuan Internasional. Dan dalam setiap perjalanannya di Indonesia kini, Hari Perempuan Internasional diperingati di tengah penindasan perempuan Indonesia oleh imperialisme, feodalisme dan kapitalis birokrat di bawah kepemimpinan borjuasi komprador SBY-Kalla yang anti rakyat. Kenapa demikian, karena perempuanlah yang paling banyak merasakan penindasan dan eksploitasi di segala lini baik secara ekonomi, politik maupun budaya.

Secara ekonomi perempuan Indonesia dimiskinkan, secara politik perempuan Indonesia dinomorduakan dan secara budaya perempuan Indonesia disubordinasikan. Semua persoalan tersebut bukanlah tanpa sebab, tetapi telah tersistematiskan dalam skema penindasan yang telah berlangsung selama berabad-abad. Dan siapakah yang kita sebut sebagai perempuan tertindas Indonesia? Mereka adalah mayoritas perempuan sebagai tani miskin dan buruh tani, buruh yang bekerja di pabrik, buruh migrant Indonesia dan sektor perempuan lain yang sarat dengan penindasan.

Catatan kekinian yang menguatkan kondisi perempuan yang dimiskinkan secara ekonomi adalah 50% dari perempuan Indonesia adalah tani miskin. Data tersebut dikuatkan dengan peningkatan angka kemiskinan pada pemerintahan rejim SBY-Kalla yang naik setiap tahunnya, yaitu sebesar 17,8% (39,05 juta jiwa) pada tahun 2006 di banding tahun 2005 dengan persentase16,0% dari total penduduk indonesia. Dari 39,05 juta jiwa warga miskin tersebut, 14,49 juta jiwa hidup di kota dan 24,81 juta jiwa hidup di desa. Sedangkan angka partisipasi perempuan yang bekerja di luar sektor pertanian hanya mencapai 26% saja (BPS). Dengan demikian nyata bahwa sebagian besar dari perempuan indonesia hidup menggantungkan diri dari tanah dalam tatanan sosial yang masih feodal sebagai tani miskin dan buruh tani.

Di sektor perburuhan, perempuan indonesia juga tak lepas dari penindasan. Konvensi ILO No. 100 ( yang diratifikasi dalam UU No.80 tahun 1957 ), Declaration of Human Right pasal 2, UU No.39 tahun 1999 pasal 38 tentang HAM dan Undang-Undang No. 7 tahun 1984 telah menjamin kesetaraan upah bagi buruh perempuan dan laki-laki. Namun di lapangan ditemukan penyimpangan. Sebagian besar buruh perempuan hanya mendapatkan upah 2/3 dari buruh laki-laki. Kenyataan yang diskriminatif ini dikuatkan dengan adanya peraturan menteri tenaga kerja No. 04 tahun 1988 yang berisi bahwa perempuan tidak mendapatkan tunjangan kesehatan bila suami sudah mendapatkan hak yang serupa. Gaji minim yang diterimanya telah memaksa 44% buruh pabrik perempuan untuk bekerja lebih panjang, lebih dari 75 jam/minggu. Sedangkan buruh perempuan yang bekerja penuh waktu ( 35-74 jam/minggu ) hanya sebesar 48%. Bandingkan dengan persentase buruh laki-laki yang bekerja penuh waktu yang mencapai 71,6%.

Kondisi buruh migran juga tak lebih baik. Jumlah buruh migran indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Fenomena ini sebagai akibat dari ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negaranya, sehingga harus mengadu nasib di negeri lain dengan perlindungan minim dari pemerintah indonesia. Sebagian besar menjadi tenaga kerja dengan ketrampilan rendah, seperti pembantu rumah tangga dan buruh bangunan Di kawasan asia pasifik ( hongkong, taiwan, cina, macau ) 90% adalah buruh migran perempuan sisanya adalah buruh migrant laki-laki. Jumlahnya yang banyak, telah menempatkan tenaga kerja indonesia sebagai pahlawan devisa. Namun predikat ini tidak sesuai dengan penghisapan yang dialami oleh buruh migrant. Kasus terakhir adalah soal Surat Edaran KJRI Hongkong No.2258 yang semakin menguatkan posisi agen. Padahal dalam prakteknya agen menjadi pemeras keringat para buruh migran melalui praktek ilegal yang dilakukan. Seperti underpayment, pelecehan seksual, penahanan paspor dan visa, mahalnya biaya penempatan, dan pemotongan gaji ilegal. Penindasan ini terjadi di Hongkong yang notabene termasuk Negara yang melindungi hak buruh migrant. Tetapi jika mereka yang bekerja di Negara Timur Tengah; seperti Arab Saudi, Kuwait, Syiria; bahkan diperlakukan dengan lebih kejam seperti budak yang tidak mempunyai hak apapun di depan majikannya. Kasus trafficking yang berkedok PJTKI pun terjadi. Catatan tahun 2007 saja, jumlah korban trafficking yang terkatung-katung di Malaysia sejumlah 1.987 orang ( 1.165 adalah perempuan ).

Dalam ranah politik, upaya pemerintah dalam memberdayakan perempuan tidak menyentuh ke akar persoalan. Salah satunya adalah quota perempuan dalam badan legislative sebesar 30% (perkembangan sekarang adalah 11%). Jika lebih jernih memandang persoalan perempuan, keterwakilan tersebut hanya keterwakilan secara jenis kelamin. Jadi meskipun semakin banyak perempuan yang duduk di parlemen, namun jika tidak memahami apa yang menjadi akar penindasan perempuan maka hanya akan menjadi gerakan feminis liberal belaka yang diusung oleh imperialisme. Akses politik perempuan hanya terbangun di perspektif perwakilan di parlemen, tetapi tidak melahirkan perspektif untuk membangun organisasi massa perempuan yang secara politik berjuang untuk kepentingan kaum perempuan dan rakyat. Penghancuran besar-besaran organisasi perempuan yang mempunyai perspektif politik maju oleh rejim orde baru di mulai dari tahun 1965. kemudian menggantinya dengan organisasi-organisasi yang menjadi bagian dari profesi suami. Seperti darma wanita, PKK, perwari dan organisasi perempuan lain yang kemudian hanya bergerak dalam hal yang sifatnya domestik, sosial dan menumpulkan pandangan politik perempuan
.
Di tengah kondisinya yang dimiskinkan secara ekonomi dan dinomorduakan secara politik, perempuan indonesia semakin terpuruk dalam ketidakmampuannya. Tertanam stigma bahwa perempuan hanya mengurusi soal-soal dapur, sumur dan kasur. Kemudian perempuan dijauhkan dari persoalan-persoalan politik dan kemasyarakatan, bahkan dia tidak mampu untuk menentukan keputusan atas alat produksinya seperti tanah, seperti keputusan untuk dijual atau tidaknya tanahnya atau mau ditanam apa lahan yang diolah bersama dengan suaminya. Padahal partisipasi perempuan dalam kerja produksi lebih banyak dibanding dengan laki-laki. Minimnya akses pendidikan yang harusnya ia peroleh, tingginya angka buta huruf yang diderita ( 11,71% perempuan usia produktif menderita buta huruf, angka ini lebih besar dibanding dengan angka buta huruf yang dialami laki-laki sebesar 2,92% saja ), poligami yang dalam kenyataannya sangat tidak adil bagi perempuan, hingga pelecehan seksual yang sering dialami perempuan. Kemudian ditengah himpitan ekonomi yang semakin berat, orang tua memaksa anak gadisnya untuk kawin muda. Dan yang sudah membina keluarga, pasangannya menumpahkan ketidakmampuan menghadapi persoalan beratnya hidup dengan melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan sebagian terpaksa bercerai.

Tingginya angka kematian ibu melahirkan yang mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup merupakan wujud minimnya akses perempuan atas kesehatan. Di desa-desa yang terpencil, perempuan harus menempuh jarak berkilo-kilo tanpa kemudahan transportasi untuk menemui bidan. Setelah sampai pun masih harus dikenakan biaya tinggi. Kenaikan harga kebutuhan pokok akhir-akhir ini membuat perempuan, sebagai pengatur keuangan keluarga, bingung memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Kesulitan ini mengakibatkan tingginya angka malnutrisi anak sebesar 26% dan angka ketakcukupan konsumsi kalori saat ini mencapai 64%. Jadi tidak heran jika di tanah yang subur dan kaya raya ini ditemukan kasus anak menderita busung lapar.

Eksploitasi terhadap perempuan tak terhenti sampai di sini. Imperialisme mengeksploitasi perempuan sebagai komoditas. Diciptakan stigma bahwa perempuan ideal adalah mereka yang sesuai dengan pencitraan imperialisme, yaitu mereka yang menggunakan produk-produk kecantikan yang diproduksi imperialisme.

Sudah banyak bukti di hadapan mata kita, bahwa penindasan terjadi di semua lini. Kasus kekinian yang menjadi ironi adalah kelangkaan bahan pangan hingga memicu naiknya harga kebutuhan bahan pokok. Kenapa hal ini bisa terjadi? Jawaban yang tepat adalah karena pemerintahan kita hari ini, yaitu SBY-Kalla, anti rakyat dan setia pada tuannya yaitu imperialisme AS. Kebijakan yang dikeluarkan tak satupun yang pro pada kepantingan rakyat. Lahan-lahan yang sebagian besar dikuasai tuan tanah yang seharusnya ditanami kebutuhan pangan ternyata ditanami komoditas ekspor.

UU Penanaman Modal adalah kebijakan paling kontroversial yang terakhir dikeluarkan karena semakin mengintensifkan penindasan terhadap rakyat terutama kaum tani, karena sepanjang umurnya ia hanya mampu menjadi buruh di tanahnya sendiri. Hingga rencana amandemen UU Pokok Agraria yang selama ini menjadi payung bagi tani untuk memperjuangkan haknya atas pemilikan tanah. Sistem kerja kontrak bagi buruh pabrik melalui peraturan UU Ketenegakerjaan No.13 tahun 2003. Hingga penurunan anggaran pendidikan untuk tahun 2008 menjadi 9,19%, angka ini turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 11,8%. Kondisi perempuan Indonesia hari ini tidak jauh berbeda dengan kondisi rakyat Indonesia pada umumnya, dihisap dan ditindas oleh dominasi imperialisme dan feodalisme secara ekonomi, politik dan kebudayaan melalui rejim bonekanya di dalam negeri.

Kepentingan imperialisme di indonesia adalah bahan mentah yang murah dan banyak yang diambil dari kekayaan alam indonesia, tenaga kerja yang murah dan pasar untuk memasarkan produksi mereka yang sudah over produk. Karena dalam logika kapitalis, untuk mendaptkan keuntungan yang sebanyak banyaknya adalah dengan memasarkan barang dagangannya agar modal bisa terus berputar, mengurangi upah buruh dan mendapatkan bahan mentah yang murah untuk menghidupi industri mereka. Jadi tidak heran jika indonesia semakin dibanjiri dengan produk-produk luar negeri, karena imperialisme berupaya untuk mengalihkan krisis dalam negerinya ke negara jajahannya ( termasuk indonesia dengan jumlah penduduk terbesar nomor 4 di dunia ).
Kedua semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang persentase pengangguran semakin tinggi (pengangguran lebih banyak diderita mereka yang menempuh jenjang perguruan tinggi, ini dialami juga oleh perempuan ) karena imperialisme menginginkan buruh yang siap dibayar murah dengan ketrampilan rendah. Maka industry-industri di Indonesia paling gemar menggunakan tenaga kerja perempuan yang mau di bayar murah karena statusnya sebagai pencari nafkah yang tidak pokok dalam keluarga. Dan ketiga semakin lebarnya pemerintah membuka pintu investasi luar negeri untuk mengembangkan usahanya di indonesia termasuk untuk mengeruk kekayaan alam indonesia yang belum tereksplorasi.

Sistem patriarkhi yang menindas perempuan, juga berdiri diatas topangan imperialisme dan feodalisme di Indonesia. Maka ketika cara produksi feodalisme masih berlangsung di Indonesia dan didominasi oleh kekuasaan imperialisme, patriarkhi juga tidak akan pernah dapat dihancurkan. Bahwa penindasan yang terjadi pada perempuan hari ini, di tengah budaya patriarkal feodal, bukan hanya perempuan yang ditindas tetapi laki-laki juga di tindas yang artinya seluruh rakyat indonesia mengalami hal yang sama atas penindasan yang terjadi di indonesia.

Jadi semakin jelas memang siapa yang menjadi musuh rakyat indonesia, termasuk di dalamnya perempuan indonesia, yaitu imperialisme, para tuan tanah dan borjuasi komprador. Karena merekalah yang paling banyak mendapatkan keuntungan di tengah semakin massifnya eksploitasi terhadap rakyat indonesia.

Maka bangkit dan mengorganisasikan diri dalam sebuah organisasi maju berperspektif perjuangan demokrasi nasional adalah jalan yang paling tepat bagi perempuan indonesia untuk lepas dari sistem setengah jajahan dan setengah feodal ini. Dengan mengusung platform anti imperialisme dan anti feodalisme, gerakan perempuan indonesia menjadi bagian dari gerakan rakyat indonesia ( yaitu kelas buruh dan kaum tani indonesia ). Karena dua kelas inilah yang paling merasakan kerasnya penindasan yang dilakukan oleh imperialisme dan feodalisme, yang karenanya hanya gerakan dengan 2 kekuatan pokok inilah yang mempunyai masa depan dan mampu membawa indonesia lepas dari ketertindasannya melalui perjuangan pembebasan nasional.



Hidup perempuan indonesia!!!!
Hidup mahasiswa !!!
Hidup tani!!!
Hidup buruh!!!
Hidup kaum miskin kota!!!
Hidup rakyat Indonesia!!!!

* Jefry Habib: Mahasiswa UIN Sokidjo.DPP FMN, bergiat di AGRA (Aliansi Gerakan Reforma Agraria)

Tidak ada komentar: