Budaya Pasifisme : “Keterbelakangan Budaya yang Harus Diperangi”

Betapa luar biasa tingkat produksi film horor, sinetrondengan unsur-unsur religi ataupun dongeng masa lalu yang tengah berkembang luas di tengah masyarakat. Film Horor seperti Kuntilanak yang dibintangi artis muda jelita, Julia Estelle, dalam setahun bahkan merilis 2 sekuel film sekaligus. Di sisi lain, lagu-lagu cinta dengan nuansa merdu, seputar kisah-kisah percintaan, perselingkuhan, keputusaan hidup, terus saja membanjiri pasaran musik dalam negeri. Ada apa dengan semua ini?

Pendidikan yang Membelenggu
Setiap hari berhadapan dengan dosen yang wajahnya kurang bersahabat, kelas yang penuh sesak, fasilitas yang terbatas, biaya mahal, tugas kuliah yang numpuk telah membuat mahasiswa jenuh dengan system perkuliahan. Belum lagi, jika ada persoalan sedang “ribut” dengan pacar, ada masalah di rumah, tagihan kost, uang bulanan mulai tipis, semakin membuat pening kepala rasanya. Hal ini sesungguhnya mencerminkan situasi umum dari masyarakat setiap hari, yang semakin frusrasi akibat kebijakan pemerintah yang tidak bisa membawa rakyat negeri ini keluar dari krisis seperti kemiskinan, pengangguran, mahalnya harga-harga barang kebutuhan pokok dan sebagainya. Di sisi lain, ilmu pengetahun seolah tidak memiliki makna apa-apa. Mata kuliah lebih sering dipelajari hanya ketika menjelang ujian. Wajar saja, tradisi kepe’an terus terjadi, karena kuliah hanya untuk mengejar nilai. Ini akibat orientasi pendidikan kita yang hanya menghasilkan sarjana dengan skill terbatas yang bisa dibayar murah di pasar tenagakerja. Bisa dilihat bagaimana banyak sarjana lulusan A, ternyata bekerja di tempat B yang tidak sesuai dengan disiplin ilmunya di bangku kuliah. Kuliah hanya rutinitas untuk ngisi presensi, ngerjain tugas dan ujian biar dapat nilai. Teori mah urusan belakangan. Di samping itu, teori-teori yang dipelajari di kampus telah berubah menjadi firman yang tidak bisa diganggu gugat. Ilmu-ilmu di kampus justru menjadi “sakral”, tidak menjadi sesuatu yang ilmiah. ilmu pengetahun di Indonesia telah kehilangan tradisi ilmiahnya. Dalam PP 61/1999 tentang Perguruan Tinggi, kebebasan akademik hanya menjadi milik dosen dan guru besar. Mahasiswa hanya menjadi objek dari perkuliahan tersebut. Lebih tepat untuk menyerap dana SPP dan mencuri pengetahuan dari kerja keras mahasiswa dalam menghasilkan penelitian yang diserahkan kepada perusahaan perusahan yang mendanai riset tersebut. Di kampus saat ini, berdiri tegak aliran positifisme ilmu. Semua tersekat-sekat dalam disiplin ilmu, tidak ada upaya menjadikan ilmu pengetahuan sebuah kajian yang luas. Ilmu ekonomi berdiri sendiri dari politik, hukum, sosial dan atau psikologi bahkan ilmu pasti. Padahal untuk mengkaji perubahan alam saja, bias menyangkut segala aspek yang luas. Ini semakin diperparah dengan tiadanya kebebasan mimbar akademik. Kajian social tentang kemiskinan, keterbelakangan rakyat negeri ini seperti tidak mendapat tempat dalam kampus. Jika ada yang menungkap hal tersebut, dia bisa saja dikatakan “kiri” atau “Komunis”. Organisasi-organisasi mahasiswa yang konsisten memperjuangkan hak-hak mahasiswa di kampus, selalu diintimidasi dan direpresi oleh birokrat kampus. Imbasnya, tradisi ilmiah tidak berkembang dan mahasiswa dijauhkan dari realitas sosial kampus ataupun masyarakat. Budaya-budaya individualisme yang dibawa lewat kemasan generasi MTV’s yang sangat marak saat ini, menambah persoalan bagi lahirnya tradisi kritis di kalangan mahasiswa. Kampus telah berubah menjadi menara gading yang congkak. Hal inilah yang telah mengakibatkan ilmu pengetahuan kehilangan objektifitas, membuat mahasiswa menjadi sosok pragmatis dan penat dengan berbagai beban kuliah.

Budaya “Nina Bobo”
Kepenatan mahasiswa akan perkuliahan yang menjemukan, difasilitasi dengan baik oleh borjuasi-berjuasi komprador dalam negeri dengan dukungan pemerintah untuk meredam bangkitnya kesadaran kritis mahasiswa. Lihatlah, bandband musik saat ini bersliweran mendendangkan lagu-lagu picisan seputar cinta dua sejoli,perselingkuhan dan sebagainya. Membuat lupa anak muda (pelajar dan mahasiswa) akan mahalnya biaya sekolah dan kuliah. Layar televisi saban hari menayangkannya, bahkan konser-konser musik dengan dukungan sponsorship perusahaan besar digelar untuk itu semua. Film-film horor dibuat dengan tata artistik modern disertai artis-artis cantik, untuk membawa alam pikir anak muda pada hal-hal yang tidak nyata atau non ilmiah. Café-café dan clubclub malam terus dibuka dan anak muda Indonesia dicekoki Jack Daniels, Red Wine, dan sejenisnya yang mahal harganya. Belum lagi terjerat shabu (SS), inex, dan sebagainya. Akibatnya, wanita muda pun menggadaikan tubuhnya dan uang kuliah pun raib. Kenapa itu semua terjadi? Rejim yang berkuasa sadar, krisis sosial ini akan berdampak bagi bangkitnya kemarahan rakyat akibat hidupnya yang terus digencet kebijakan penguasa, tak terkecuali bagi mahasiswa atas problem-problem kampus yang dihadapi. Untuk itu, rejim penguasa berupaya mempertahankan kebudayaan terbelakang dalam masyarakat yangmengagung-agungkan mistis, takhayul ataupun kebebasan individualis seluas-luasnya. Ini adalah perpaduan budaya feodal dan masyarakat induvidualisme ala Amerika yang terus mengakar kuat hingga kini. Inti dari itu semua adalah menjadikan mahasiswa dan rakyat Indonesia secara umum berada dalam budaya pasifisme. Budaya pasifisme adalah budaya yang tidak bertujuan memajukan taraf berpikir dan prilaku, tetapi sebuah budaya yang anti kemajuan, menumpulkan daya kreasi manusia untuk memecahkan soal-soal kehidupan sosial ataupun gejala alam. Budaya yang satu sisi melahirkan kepasrahan diri, di sisi lain nmengagung-agung invidualisme tak terbatas. Rejim penguasa akan berupaya sekuat tenaga menghambat budaya maju yang bertujuan mengembangkan tarafberpikir rakyat dan tindakannya untuk melawan segala penindasan dan penghisapan di negeri ini. Inilah budaya ‘nina bobo”

Giatkan Tradisi Ilmiah
Ilmu pengetahuan adalah salah satu instrumen yang bertujuan untuk kemajuan berpikir manusia. Sejarah telah membuktikan, bagaimana kemajuan filsafat alam Yunani Kuno telah berhasil meruntuhkan mitologi Yunani. Kemajuan ilmu pasti telah yang mendorong penemuan-penemuan modern seperti telpon, listrik, pesawat, mobil dan lain-lainnya. Saatnya kita mengembalikan kedudukan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memecahkan problem-problem rakyat dengan menggiatkan kembali tradisi ilmiah. Tradisi ilmiah adalah sebuah tradisi yang mengedepankan penggunaan ilmu dalam pemecahan soal-soal yang terjadi. Tradisi ini tidak menutup diri dari aliran-aliran ilmu tertentu ataupun fakultasisme, tetapi mengembangkan kebebasan akademik dengan membuka ruang-ruang perdebatan dan kajian ilmiah seluas mungkin. Tradisi ilmiah ditujukan untuk mengembalikan ilmu sebagai suatu objektifitas. Artinya ilmu harus mencerminkan keterujiannya di tengah-tengah kenyataan masyarakat dan soal-soal alam. Dengan demikian, ilmu akan bermanfaat bagi khalayak banyak. Sebagai insan kampus, mahasiswa harus mengembalikan tradisi ilmiah untuk mewujudkan kehidupan kampus yang ilmiah. Kampus yang berani membuka perdebatan ilmiah profesor dan mahasiswa. Kita harus mampu membongkar tradisi palsu bertopeng ilmiah di kampus. Mariruntuhkan menara gading di kampus, bangun benteng pertahanan ilmiah rakyat di Kampus!

Sumber : Majalah Perlawanan

Tidak ada komentar: