Represifitas dan Pengekangan Terhadap Mahasiswa di Kampus

Kampus adalah tempat dimana mahasiswa menjalankan tugas utamanya menuntut ilmu pengetahuan, sebagai unsure mayoritas sudah sepantasnya lah untuk didengarkan. Sudah sewajar nya sebagai unsure mayorita dan sumber dana bagi kampus untuk mendapatkan layanan pendidikan yang layak. Tapi saat ini kampus adalah sebuah potret nyata dari bobroknya system pendidikan di Indonesia
Salah satu problem yang dihadapi dalam sistem pendidikan di Indonesia adalah tentang kebebasan berpendapat dan kebebasan berorganisasi yang masih dikekang.. Mayoritas kampus saat ini membuat perjanjian bagi presensi sebesar 75 persen untuk persyaratan nilai, sehingg membatasi aktifitas mahasiswa di luar kelas. Aksi-aksi kampus yang dilakukan juga sering mendapatkan represi. Pamflet-pamflet kritis di kampus sering disobek. Bahkan ada mahasiswa yang diskorsing dan dikeluarkan drop out akibat mengkritisi kampus, ini pernah dialami oleh 4 anggota FMN di kampus STAIBU Jombang tahun 2004 dan 3 mahasiswa ITS akibat mendemo ITS karena mendukung operasi PT Lapindo Brantas Inc, yang telah mengakibatkan banjir lumpur di Porong Sidoarjo.

Kebebasan berorganisasi di kampus juga turut dikekang. Pemerintah hanya mengakui keberadaan organisasi dependent kampus yang memang selalu menjadi alat kepentingan pemerintah untuk meredam kesadaran politik mahasiswa. Ormas-ormas mahasiswa independent yang sering disebut juga organisasi ekstra seperti FMN dilarang kehadirannya di kampus. Untuk ini, pemerintah telah menerapkan SK Dirjen Dikti 26 Tentang Pelarangan organisasi ekstra di kampus. Ketika ormas-ormas ini mengadakan kegiatan di kampus harus mendapatkan izin bahkan membayar untuk menggunakan fasilitas kampus yang ada. Di beberapa kampus FMN bahkan dilarang secara resmi, dengan berbagai alasan. Tetapi sesungguhnya, larangan itu karena FMN konsisten memperjuangkan kepentingan mahasiswa. calon mahasiswa dalam brosur penerimaan, bahwa jika dia diterima harus mengikuti segala peraturan kampus, pembayaran dan melarang untuk terlibat dalam demonstrasi. Kampus juga memberlakukan kebijakan pengetatan.
Secara fisik maupun non fisik maupun sadar dan tidak sadar, saat ini mahasiswa telah direfresi oleh rejim boneka imperialis SBY-JK. Karena jelas demi melayani tuannya, SBY-JK akan menghalalkan segala cara untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari sector manapun termasuk pendidikan. Secara fisik ini jelas dan nyata di depan mata kita telah terjadi dan, seperti yang terjadi dikampus ikip mataram ataupun di kampus nomensen medan atau bahkan di jogja sendiri refresi telah dan masih terjadi, seperti di kampus isi, ataupun di kampus UII tentang pemukulan dn sebagainya. Secara non dfisik kiat selaku mahasiswapun juga telah dan masih akan terus direfresi, seperti kebijakan presensi 75%, ataupun kebijakan2 pungli dan sebagainya.
Hal ini pun menimbulkan terjadinya konflik-konflik di berbagai kampus .yang akhirnya semakin memperjelas kebejatan birokrasi kampus yang di jadikan alat oleh rejim yang berkuasa.konflik-konflik di sejumlah Perguruan tinggi swasta antara yayasan dan pengelola kampus, jugaberdampak pada nasib mahasiswa yang lebih buruk. Di IKIP Mataram, para wisudawan 2 periode (Juli 2006 dan Januari 2007) terkatung-katung nasibnya, karena tempat mereka mencari kerja tidakmenerima dengan alasan keabsahan ijazah diragukan akibat rektor yang ada dianggap illegal. Halyang sama juga dialami di Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang. Bahkan dalam tingkat tertentu, konflik tersebut berujung dengan kekerasan yang menjadikan mahasiswa sebagai korban, sebagaimanayang terjadi di IKIP Mataram (tewasnya M.Ridwan dan intimidasi terhadap mahasiswa) dan bentrokan berdarah di kampus UISU Medan, 9 Nei 2007.

Mahasiswa sendiri diarahkan menjadi sosok menara gading yang terpisah dari realitas sosial dansosok yang kritis. Perkuliahan dan presensi yang ketat, pengekangan terhadap demokratisasi dikampus, percepatan masa kuliah dan bagaimana digencarkannya kegiatan-kegiatan mahasiswalainnya ala Mtv’s generation, merupakan gambaran betapa kampus telah difungsikan untuk melahirkan sarjana-sarjana yang nantinya hanya sekedar intelektual an sich, tenaga-tenaga kerjarendahan, dan pengusung nilai-nilai budaya imperialis.

Selain mahasiswa, para dosen dan karyawan kampus juga akan terancam kehidupannya. Denganmakin masifnya otonomi kampus dengan memposisikan kampus sebagai badan hukum, maka dosen dan karyawan pun akan terkena dampak fleksibilitas perburuhan. Mereka tidak lagi berstatus pegawai negeri, tetapi tenga kerja badan hukum pendidikan alias tenaga kontrak. Artinya, akan semakin menghancurkan penghidupannya. Privatisasi pendidikan tinggi melalui otonomi kampus atau badan hukum pendidikan mengakibatkan kampus mengelola sendiri kehidupannya mulai dari keilmuan, pendanaan, regulasi dan sebagainya. Hal ini justru akan semakin membuat dunia kampus semakin terpuruk dan mengancam hak-hak mahasiswa di kampus. Mahasiswa akan menjadi korban utama dan terbesar dari proses ini. Mahasiswa tetap akan menjadi sapi perahan bagi para pengelola kampus dan dijerat dengan berbagai kebijakan yang merugikan seperti di atas.
* Fredy (Dewan Pimpinan Pusat Front Mahasiswa Nasional)

Tidak ada komentar: